Hari Ketiga Konferensi Tingkat Tinggi Dunia Creative Commons 2018 di Toronto, Kanada

Ditulis pada 13-07-2018 oleh CCID

Creative Commons Global Summit 2018 (CCGS 2018) atau (Bahasa Inggris) atau Konferensi Tingkat Tinggi Dunia Creative Commons 2018 (KTT Dunia CC 2018) kembali diadakan selama 3 hari yaitu tanggal 13-15 April 2018 di Delta Hotel, Toronto, Kanada.

Kembali diadakannya konferensi ini di kota yang sama semacam menjadi rangkaian kesuksesan konferensi tahun lalu yang tiket masuknya habis terjual. Berikut adalah statistik yang dapat dilihat untuk konferensi tahun lalu:

  • 42 “anggota” komunitas ikut serta dalam pengembangan program acara untuk memilih lebih dari 100 program yang melibatkan “anggota” lama maupun “anggota” baru.
  • Tiket untuk masuk ke konferensi ini kembali habis terjual dengan total hampir 400 peserta.
  • Terdapat 4 tokoh perempuan yang menjadi pembicara kunci, dan tidak ada satu pun sesi yang didominasi laki-laki.
  • Hampir 60 persen penerima beasiswa perjalanan membiayai keberangkatan peserta dari Afrika dan Amerika Latin.

Selain itu, terdapat pertimbang-pertimbangan lain yang menjadi alasan mengapa Creative Commons Internasional (CC HQ) memilih untuk kembali ke Toronto. Kurs dolar Kanada yang rendah mendukung daya beli para peserta konferensi yang merupakan pendatang. Hotel Delta Toronto, yang telah dengan baik menjadi rumah bagi konferensi ini pada tahun lalu, kembali menyediakan tempat untuk menyelenggarakan acara ini kembali. Kebanyakan dari peserta mendapatkan visa dengan masa berlaku yang panjang sehingga mereka dapat kembali ke Kanada tanpa harus mengurus kembali perizinannya. Dan yang terakhir adalah bantuan sekelompok orang yang dapat menyelenggarakan acara dengan skala sebesar ini dalam waktu 11 bulan tanpa dukungan yang signifikan dari CC HQ, kebanyakan dari kelompok-kelompok tersebut berfokus pada isi dari acara ini, bukan masalah birokratis acaranya.

Konferensi kali ini juga menjadi penanda berubahnya pola penyelenggaraan konferensi oleh Creative Commons HQ (CC HQ) yaitu menjadikan konferensi ini sebagai acara tahunan. Diharapkan intensitas waktu bertemu yang semakin padat ini dapat meningkatkan proses pembangunan komunitas CC di seluruh dunia. Dalam hal ini, CC HQ juga meningkatkan jumlah alokasi anggaran untuk beasiswa perjalanan supaya dapat mengakomodasi lebih banyak peserta dari seluruh dunia.

Kerja penyelenggaraan konferensi ini dibagi menjadi dua bagian. CC HQ menjadi “tuan rumah”, yaitu penyedia tempat, makanan, sistem promosi, beasiswa perjalanan dan peralatan lainnya. Sedangkan para “anggota” komunitas CC menjadi pengisi acara dengan program-program yang menyesuaikan dengan tema konferensi tahun ini. Hal ini diupayakan untuk lebih melibatkan “anggota” komunitas CC dalam acara yang menjadi bagian dari gerakan keterbukaan ini. Sebetulnya bulan April merupakan waktu yang amat penuh dengan konferensi (RightsCon dan Open Knowledge Festival), namun CC HQ berhasil menjadi salah satu bagian dari banyaknya rangkaian acara-acara tersebut.

Acara ini mengumpulkan lebih dari 450 “anggota” komunitas yang terdiri dari aktivis, pengacara, pengajar, pejabat pembuat kebijakan, dan pakar teknologi dalam lebih dari 110 sesi yang membahas tentang pendidikan terbuka, GLAM, pembaruan regulasi hak cipta, keterbukaan akses, masa depan komunitas keterbukaan, dan Jaringan Global Creative Commons.

Yang terlibat sebagai pengisi sesi-sesi pidato dalam acara adalah Katherine Maher (Direktur Eksekutif Wikipedia dan Yayasan Wikimedia, Chris Bourg (Direktur Perpustakaan MIT), dan Ruth L. Okediji (Profesor di Fakultas Hukum Universitas Harvard). Pada konferensi ini, CC HQ meluncurkan meluncurkan produk-produk terbarunya seperti Laporan Tahunan: State of the Commons 2017, Sertifikat Creative Commons untuk Pengajar dan Pustakawan, dan pengumuman penerima dana hibah Bassel Khartabil Free Culture Fellowship dan Memorial Fund. Pengumuman ini juga menghadirkan video eksklusif dari sutradara film dokumenter “Ayouni“, Yasmin Fedda. Film ini menceritakan kisah hidup Bassel dan Jesuit Priest Paolo Dall’Oglio, yang keduanya terbunuh di Suriah dalam tugas kemanusiannya. Dalam penyerahan dana hibah ini, Ryan Merkley (CEO Creative Commons) akan juga didampingi oleh istri mendiang Bassel, Noura Ghazi Safadi.

Wikimedia Indonesia mengirimkan perwakilan CC Indonesia Hilman Fathoni (HF) dan Fitriayu (FA) untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Dunia Creative Commons 2017. Pembiayaan keberangkatan ini juga ditanggung oleh CC HQ dalam bentuk beasiswa perjalanan sebesar 1,5000 dollar Amerika untuk masing-masing perwakilan dari Indonesia. Konferensi ini dilaksanakan dalam tiga hari dengan tema yang berbeda di setiap sesi-sesi yang disediakan. Tema-tema itu adalah CC Global Network, CC & New Technologies, Future of the Commons, GLAM, Keynotes, Legal & Copyright Reform, Open Bazaar, Open Education & Open Access, Summit Special Events, unConferencing, dan User Centered Commons. Daftar-daftar kegiatan yang diikuti oleh dua perwakilan CCID di Creative Commons Global Summit 2017 dapat Anda baca di laman ini dan ini.

Laporan acara

Pada pagi hari ketiga CCGS 2018, peserta “newbie” kembali diajak untuk mengikuti sesi “Summit for Newbies: First-Timer Breakfast” yang dipandu oleh Simeon Oriko. Pemandu sesi ini kembali mengulas pelaksanaan CCGS 2018 selama 3 hari dan mengundang para peserta untuk mengajukan kritik dan saran mengenai hal ini. Setelah mengikuti sesi tersebut, Fitriayu menghadiri sesi “SDGs, OER, and OEP – A world of Acronyms for Open Global Education” oleh Werner Westermann dan Jenni Hayman. Di sesi ini kedua pemateri memberikan pemaparannya singkat yang kemudian disambung dengan membagi peserta menjadi kelompok-kelompok kecil. Tiap kelompok diberi tugas untuk mejawab beberapa pertanyaan seperti bagaimana OER di negara asal masing-masing peserta dan apa yang dapat Anda lakukan mengenai isu SDGs dan pendidikan terbuka di negaranya. Salah satu peserta yang berasal dari Denmark memperkenalkan aplikasi H5P.org yang dapat mempermudah secara teknis dalam kegiatan pendidikan terbuka. Platform tersebut bebas biaya dan sangat mudah untuk digunakan.

Pada jam yang sama, Hilman mengikuti sesi berjudul “CC Chapters: A DIY Guide for Community Building” oleh Simeon Oriko. Sesi ini merupakan panduan bagi pihak-pihak yang tertarik untuk membentuk komunitas lokal CC (Chapter team) di negaranya dan berperan sebagai perwakilan dari komunitas tersebut (Public Lead/Global Network Council representatives), serta bentuk-bentuk bantuan yang disediakan oleh CC HQ bagi komunitas lokal tersebut. Dalam sesi ini muncul pertanyaan-pertanyaan seperti:

  • Siapa yang memegang akses situs web komunitas lokal CC? Anggota-anggota yang diakui oleh komunitas lokal CC tersebut.
  • Apakah komunitas lokal CC harus berbentuk badan hukum? Komunitas lokal tidak wajib berbentuk badan hukum.
    Keuntungan utama yang didapat dari menjadi komunitas lokal resmi ialah abntuan pendanaan kegiatan dari CC HQ. Dalam model jaringan ini pihak individual dapat menjadi anggota jaringan global dengan mewakili institusinya. Selain itu institusi tersebut juga dapat menjadi anggota jaringan (atas nama institusi) secara terpisah dengan pihak indiviual tersebut.
  • Apakah komunitas lokal CC yang tidak berbentuk badan hukum dapat menerima bantuan dana hibah? Ya, komunitas lokal tersebut dapat menerima dana hibah dari CC HQ melalui institusi yang menjadi induk komunitasnya.

Keynote: Dr. Ruth Okediji. Pemidato pada hari terkahir CCGS 2018 ialah Ruth Okediji, seorang profesor dari Fakultas Hukum Universitas Harvard. Sebagai bagian dari dewan pengawas di CC HQ, ia adalah seorang ahli hukum kekayaan intelektual dan regulasi tentang ekonomi internasional. Pada tahun lalu ia mengeluarkan sebuah buku berjudul “Copyright Law in an Age of Limitations and Exceptions” melalui Cambridge University Press. Ia juga seorang penulis artikel-artikel tentang kekayaan intelektual, khususnya kekayaan intelektual di negara dunia ke-3, dengan jumlah sitasi yang amat banyak. Sebagai penerima banyak penghargaan, ia juga seorang pemeriksa di Journal of World Intellectual Property, dan menjadi pemimpin di Association of American Law Schools Committee. Ia juga menjabat sebagai Penegosiasi Utama untuk Nigeria dalam 2013 WIPO Diplomatic Conference tentang Penyediaan Akses Ciptaan Terhadap Penyandang Tuna Netra (Marrakesh VIP Treaty). Pada tahun 2015-2016, Okediji dipekerjakan pada Konferensi Tingkat Tinggi mengenai Akses ke Pengobatan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Profesor Okediji akan mengulas mengenai kondisi terkini dari regulasi tentang Hak Cipta, Marrakesh Treaty yang baru saja diimplementasikan, dan WIPO di pidatonya pada hari terakhir CCGS 2018. Foto oleh Sebastiaan ter Burg, CC BY 2.0, melalui Flickr.

Pada waktu pagi menuju siang hari, sebelum jam makan siang, seluruh peserta dikumpulkan di aula terbesar Hotel Delta Toronto untuk ikut serta dalam upacara penutupan konferensi yang disertai dengan beberapa pengumuman. Pengumuman pertama adalah tentang penerima Bassel Khartabil Free Culture Fellowship and Memorial Fund pada sesi ini. Tiga penerima penghargaan ini adalah The Mosireen Collective, kolektif pengarsip dokumentasi video peristiwa revolusi di Kairo, Mesir. Dengan dana hibah ini mereka akan mengadakan lokakarya pendokumentasian gerakan dalam bentuk video dan pengembangan aplikasi dokumentasi video bernama pan.do/ra. Lalu ada Sharq.org yang menyediakan catatan sejarah Arab dalam bentuk video cerita personal. Dengan dana hibah ini mereka hendak membuat satu tempat yang menjadi pusat penyimpanan dan pengaksesan video-video tersebut. Penerima penghargaan terakhir adalah ASI-REM / ADEF Lebanon, komunitas yang menyediakan serangkaian pelatihan pada anak muda yang mewakili berbagai elemen masyarakat tentang teknologi dan kesenian dengan prinsip-prinsip keterbukaan. Menggunakan dana hibah ini mereka akan melanjutkan rangkaian pelatihan-pelatihan tersebut.

Komunitas Creative Commons seAsia Pasifik. Pada jam makan siang, mantan koordinator komunitas regional CC seAsia Pasifik, Soohyun Pae, mengumpulkan para perwakilan komunitas CC seAsia Pasifik untuk saling berkenalan dan bertukar kabar terkait kegiatan CC di negaranya.

Fitriayu melanjutkan hari tersebut dengan mengikuti sesi “A Fireside Chat with Molly Shaffer van Houweling and Lawrence Lessig, hosted by Claudio Ruiz“. Sesi dengan format diskusi panel yang dimoderatori oleh Claudio Ruiz ini membahas tentang masa lalu, masa kini dan masa depan Creative Commons. Pada diskusi ini Lessig ditemani oleh salah satu staf pertama Lessig pada saat mendirikan CC, Molly Shaffer van Houweling. Pada saat itu rezim hak cipta yang ada di Amerika Serikat hanya berfokus pada masalah perlindungan ciptaan saja, bukan penggunaannya. Hal ini menjadi penghambat aktivitas berbagi ciptaan yang memerlukan ruang kebebasan-kebebasan bersyarat. Keberadaan rezim itu lah yang kemudian menginspirasi Lessig dan rekanannya untuk mendirikan CC untuk lisensi CC. Infrastruktur seperti Creative Commons dimaksudkan untuk memudahkan para pembagi berkas dalam aktivitas berbagi berkasnya. Perkembangan Creative Commons kemudian tidak diukur semata-mata dari banyaknya jumlah ciptaan berlisensi CC saja, namun bagaimana kreatifitas pihak-pihak yang ada di ekosistem tersebut dalam menyediakan ciptaan yang memang bermanfaat untuk digunakan kembali dan memiliki dampak yang baik.

Tantangan yang dihadapi saat ini menurut Lessig adalah untuk terus menyuarakan bahwa lisensi CC bukan sekedar alat legal saja, namun juga mengenai semangat berbagi kepada sesama. Dalam hal ini, Lisensi CC juga diupayakan menjadi solusi dari kebijakan-kebijakan menyangkut aktivitas berbagi berkas di dalam jaringan yang semakin membatasi. Lessig mengusulkan agar para “anggota” komunitas CC lebih jeli lagi dalam menularkan semangat berbagi tersebut. Platform untuk melaksanakan aktivitas berbagi yang memberdayakan saat ini ragamnya semakin banyak. Pihak-pihak yang terlibat dalam aktivitas persebaran pengetahuan tentang hal ini, misalnya, dapat memberikan penjelasan yang menjembatani antara penggunaan platform media sosial dengan platform seperti Wikimedia Commons dalam aktivitas berbagi konten di dalam jaringan. Dengan ditemukannya penjelasan tersebut, diharapkan sekat yang membatasi kedua jenis platform tersebut semakin mencair dan meningkatkan jumlah aktivitas berbagi yang memberdayakan, dengan menggabungkan model media sosial dengan Wikimedia Commons.

Pada jam dan lokasi yang berbeda, Hilman ikut serta dalam sesi “Open GLAM Platform Outline” oleh Evelin (Scann) Heildel. Platforms merupakan terminologi yang digunakan untuk memberikan fokus ranah kerja di gerakan keterbukaan Creative Commons, khususnya di Jaringan Global Creative Commons (Creative Commons Global Network). Pada sesi yang dipandu oleh Scann ini dibahas kerangka kerja sama yang merupakan kelanjutan dari pembahasan mengenai Platform GLAM secara daring. Sesi ini juga digunakan untuk mengidentifikasi aktivitas terkait Open GLAM apa saja yang sudah berjalan sejak pertama kali dibahasnya Platform GLAM. Kemudian pada akhir sesi dibahas pula model-model kerja seperti apa lagi yang dapat memperlebar kemungkinan kerja sama atau kolaborasi bagi pihak-pihak yang tertarik untuk terlibat di Platfrom ini.

Dari pertemuan ini dirumuskan beberapa hal yang diharapkan dapat menjadi pedoman pelaksanaan segala kegiatan yang berkaitan dengan Platform GLAM, yaitu:

  • Menyediakan daftar permasalahan yang dapat digunakan untuk membantu pembuatan CC Catalog dan pengembangan lebih lanjut CC Search;
  • Mencari tahu sejauh mana penerapan lisensi CC atau Tanda Domain Publik oleh institusi GLAM lokal di negara masing-masing;
  • Mencari tahu seberapa dibutuhkannya Sertifikat Creative Commons GLAM (GLAM CC Certificates) oleh para aktor ranah GLAM;
  • Menyediakan sumber yang baik bagi orang-orang yang hendak bergabung di Platform ini;
  • Platform ini harus menjadi tempat yang menyediakan pengetahuan lanjutan mengenai gerakan GLAM;
  • Membuat desain atau langkah-langkah yang baik dalam melaksanakan proyek GLAM terbuka.

Sesi selanjutnya yang diikuti oleh Hilman adalah “CC Community Development Platform” oleh Soohyun Pae dan Simeon Oriko. Sesi ini difungsikan untuk membahas bagaimana para “anggota” komunitas CC dapat mengembangkan komunitas lokalnya dengan lebih baik lagi. Hal-hal yang diidentifikasi dalam sesi ini antara lain adalah langkah-langkah yang baik dalam mengorganisir komunitas lokal, hal apa yang dapat dikerjakan bersama-sama antarkomunitas, dan alat apa yang dibutuhkan oleh komunitas-komunitas tersebut dalam mencapai tujuan bersama. Para peserta sesi ini dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil untuk merumuskan jawaban-jawaban terkait pertanyaan di atas. Hilman tergabung dalam satu kelompok bersama perwakilan dari Directory of Open Access Journl (DOAJ) dan perwakilan dari CC Hong Kong. Dari hasil diskusi tersebut, kelompok Hilman mengusulkan untuk dibuatnya suatu situs web yang lebih mirip lagi dengan situs web media sosial untuk memudahkan pola komunikasi antarakomunitas lokal CC. Usulan tersebut diterima oleh pemandu sesi, dan dicatat di dalam sebuah dokumen daring untuk dibahas lagi secara daring melalui kanal pembicaraan di Slack.

Di tempat dan jam yang berbeda, Fitriayu turut serta dalam salah satu sesi paling akhir pada hari terakhir rangkaian CCGS 2018 yaitu “Copywrong – a performance to help identify the “dos” and “don’ts” of copyright rules in the arts” oleh Fatima Sao Simao, Teresa Nobre, Daniel Pinheiro, dan Rogerio Nuno Costa. Pengampu ses ini, para anggota komuntias lokal CC Porugal, memberikan materi dalam bentuk pertunjukan yang menceritakan bagaimana rumitnya undang-undang hak cipta di Portugal sehingga menyulitkan para pegiat seni pertujukan. Pertunjukan tersebut dibawakan dengan cara menarik digabungkan unsur edukasi dan hiburan juga hiburan. Dari sesi ini kita dapat memahami betapa rumitnya undang-undang hak cipta yang berlaku di Portugal bagi pegiat seni pertunjukan untuk berekpresi, dan berkolaborasi. Hal ini juga menambah wawasan bahwa sosialisasi mengenai hak cipta dan lisensi Creative Commons dapat dibawakan dalam bentuk seni pertunjukan.

Catatan:
Beberapa notulensi dari sesi-sesi ini dapat Anda akses dengan membuka tautan pada setiap judul sesi yang disebutkan.